Banner Atas

Kolom Opini

Dilema Moral dalam Pendidikan dan Politik

Opini Minggu, 23 Maret 2025 - 11:34 WIB
Dilema Moral dalam Pendidikan dan Politik

Prof Dr Warsono MS, Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Mantan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa). (Foto Istimewa)

JAWA TIMUR (DPPR) - Belakangan kita semakin banyak disuguhi informasi yang sangat menyedihkan berupa kasus pelanggaran moral dan etika, mulai dari kasus koorupsi sampai ke tindak pidana lainnya.  Di lingkungan elit terjadi korupsi yang massif dan jumlah yang  sangat besar seperti kasus penambangan timah yang  merugikan negara sampai  Rp300an Trilyun. Kemudian disusul adanya dugaan korupsi di Pertamina yang mencapai Rp193,7 trilyun selama 2018-2023.

Di dunia akademis juga diwarnai adanya pelanggaran moral akademik, mulai dari plagiasi yang dilakukan oleh para calon guru besar dalam penulisan karya ilmiah. Plagiasi juga terjadi di program doktor seperti yang terjadi di salah satu universitas ternama di Indonesia.

Di kalangan masyarakat, perilaku menyimpang dari norma moral dan agama seperti tindak asusila, sampai curamor juga semakin meresahkan masyarakat. Pelaku tindakan tersebut bukan hanya kalangan remaja, tetapi juga dilakukan oleh para orang tua. Bahkan di lingkungan pesantrenpun juga ditemui adanya  perilaku yang menyimpang dari norma moral.

Pentingnya moral dan karakter ini sejak awal sudah disadari oleh para pendiri negara, karena upaya untuk mewujudkan tujuan negara sangat tergantung pada moral dan karakter bangsa. Oleh karena itu, sejak awal pendiri negara telah mencanangkan pembangunan moral dan karakter (nation and character building), dengan masukan pendidikan budi pekerti kedalam mata pelajaran sekolah.

Pada era orde baru, pemerintah memasukan pendidkan moral Pancasila (PMP) dan agama dalam kurikulum sebagai instrument pedidikan moral dan karakter. Kedua Pelajaran tersebut  diberikan kepada semua pelajar mulai dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi. Meskipun demikian korupsi juga  terjadi yang kemudian menjadi salah satu penyebab jajtuhnya rejim orde baru melalui reformasi 1998.

Pada era reformasi pendidikan moral dan karakter juga terus dilakukan. Pada  awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo mencanangkan revolusi mental sebagai upaya untuk pembangunan moral dan karakter bangsa. Namun sampai akhir pemerintahan Joko Widodo  selama dua periode, pelanggaran moral dan karakter semakin banyak dan meluas ke berbagai sektor. 

Pendidikan

Bertolak dari maraknya  korupsi di Indonesia tentu menimbulkan pertanyaan kritis, dimana letak kesalahannya. Mungkin tidak salah jika kita mencoba untuk mencermati sistem pendidikan kita, karena pendidikan merupakan upaya untuk memmbangun peradaban  (Ki Hadjar Dewantara) dan memanusiakan manusia (Dick Hartoko).

Jika kita lihat dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 yang masih berlaku sampai sekarang, dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan  YME, berakhlaq mulia, mandiri, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan warga negara  yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam UU tersebut jelas bahwa pendidikan moral (akhlaq mulia) dan karakter menjadi prioritas.

Meskipun dalam perjalanannya terjadi pergantian kurikulum, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006, kerikulum 2013 (K-13) sampai kurikulum merdeka semuanya tetap mengacu pada tujuan pendidikan yang tercantung dalam UU Sisdiknas Tahun 2003.

Mulianya tujuan pendidikan tidak sebanding dengan hasilnya, karena moral dan karakter bangsa tidak semakin baik, tetapi justru malah menampilkan hal yang sebaliknya. Ibarat moral bangsa semakin jauh panggang dari api. Jika kondisi seperti ini terus belangsung, maka tujuan bernegara  mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial sulit  tercapai.

Kondisi seperti ini perlu dikaji secara lebih mendalam dan serius, untuk menemukan akar masalah dan solusinya.  Pendidikan merupakn sistem yang meliputi input, proses dan output, yang memiliki hubungan kausalitas. Input yang baik jika disertai dengan proses  yang  baik akan menghasilkan output yang baik. Begitu juga sebaliknya jika input yang jelek  yang disertai dengan proses yang jelek, juga akan menghasilkan output yang jelekt.

Input dalam pendidikan adalah siswa dengan berbagai karakter dan budayanya.  Mereka yang saat ini terlibat kurupsi sebagain besar termasuk generasi X yang lahir sekitar tahun 1960 an dan sebagian lagi adalah generasi Y yang lahir sekitar tahun 1980 an. Jika dikaitkan dengan kurikulum pendidikan, mereka dididik dengan kurikulum 1968, 1975 sampai dengan kurikulum 1984.

 Dalam Kurikulum 1968 dijelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat secara jasmani, menjunjung tingkat kecerdasan, serta keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan beragama. Dalam kurikulum terseebut jelas ditegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia Pancasila yang berarti bermoral .

Pada kurikulum 1984, penguatan pendidikan moral  terus dilakukan dengan memasukan mata pelajaran baru yaitu Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa  (PSPB), Pendidikan Moral Pancasila (PMP)   dan penataran  Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).  Jika dilihat dari kurikulumnya, mereka yang saat ini melakukan korupsi, sebenarnya telah memperoleh pendidikan moral dan karakter yang kuat. Oleh karena itu, ditengah krisis moral saat ini   muncul wacana kembali ke PMP dan P-4 sebagai Pendidikan moral dan karakter.

Namu, mereka juga hidup di jaman Orde Baru yang menyaksikan gencarnya pembangunan yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Era orde baru adalah era yang mengejar  pertumbuhan ekonomi  melalui kebijakan Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan hasil Pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas nasional. Selain memperoleh pendidikan moral dan karakter yang baik,  mereka juga melihat dan merasakan adanya korupsi,  yang belangsung sampai tahun 1998.  Perilaku korup ini telah memberi pelajaran kepada generasi yang  saat itu telah dewasa.   Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gus Mus, bahwa salah satu warisan orde baru adalah korupsi.

Kondisi kontrakdiksi antara moral dan korupsi menghasilkan pembelahan, antara mereka yang berpegang kuat kepada moral dan mereka yang terpengaruh dengan godaan materi dan memilih jalan korupsi.  Sayangnya mereka yang berpegang teguh kepada moral lebih sedikit jumlahnya dibanding dengan mereka yang lebih berorietasi kepada materi.    

Pengaruh lingkungan dalam pendidikan memang cukup kuat sebagaimana diteorisasikan oleh Bandura. Meskipun mereka dididik (diproses) dengan baik, jika lingkungan makronya buruk akan berpengaruh terhadap hasilnya (output). Lingkungan bukan hanya menjadi sumber pengetahuan tetapi juga mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang.

Lingkungan

Sejak orde baru, orientasi pembangunan di Indonesia selalu mengejar pertumbuhan ekononi, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan suatu rejim. Seperti saat ini, Presiden Prabowo juga mencanangkan pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen. Ini membuktikan bahwa orientasi pembangunan dan hidup sebagian masyarakat adalah mengejar materi (materialisme).

Di sisi lain, globalisasi juga sangat berpengaruh terhadap gaya hidup masyarakat. Globalisasi telah mengakibatkan kapitalisme menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Penyebaran kapitalisme juga disertai ibu kandungnya yaitu individualisme dan liberalisme. Individualisme telah mengikis sikap gotong royong yang menjadi karakter bangsa Indonesia. Karena orang lebih mengutamakan dirinya sendiri dan tidak peduli dengan orang lain. Indiviidualisme dan materialisme telah melahirkan keserakahan yang menjadi penyebab terjadinya   korupsi.

Perkembangan teknologi sebagai akibat dari revolusi industri juga memberi kontribusi terhadap perilaku korup, melalui gaya hidup yang konsumtif dan suka pamer. Teknologi  Internet of  Think (IoT) yang bisa menyebarkan informasi dengan mudah dan cepat ke seluruh dunia, menjadi arena untuk menampilkan ke-aku-an (individualisme). Mereka mengkonstruk dirinya menjadi orang hebat dengan meniru gaya hidup para selibrity maupun para tokoh. Akibatnyanya perilaku konsumtif tidak bisa dihindari.

Perkembangan teknologi yang tidak diimbangi dengan moral akan menjadi pendorong perilaku korupsi melalui sikap individualis dan konsumerisme. Saat ini  sebagian besar bangsa Indonesia, khususnya generasi muda orientasi hidupanya lebih cenderung ke arah individualis, materialis dan hedonis, yang semua itu menjadi faktor pendorong korupsi.

Dilema

Pendidikan saat ini sedang menghadapi suatu dilema , karena korupsi sudah menjadi (setidaknya dianggap) budaya. Tujuan pendidikan yang sangat mulia sebagaimana yang tertuang dalam sisdiknas tahun 2003, menghadapi tantangan kuat dari budaya korupsi. Budaya sebagai struktur telah menginternalisasikan sikap hidup yang materialis dan konsumtif yang menjadi benih korupsi kepada setiap individu.  

Meskipun  pendidikan  moral dan karakter terus dilakukan,  akan berhadapan dengan budaya korupsi, yang berlawanan dengan tujuan pendidikan. Di satu sisi pendidikan moral dan karakter membutuhkan keteladanan dan pembiasaan sebagai metodenya, sementara para elit justru memberi teladan yang melanggar moral. 

Pemerintah saat ini juga sedang menghadapi dilema antara penegakan hukum dengan stabilitas politik. Ibarat pepatah buah simalakama:  dimakan Bapak akan mati, tetapi jika tidak dimakan  Ibu yang akan mati. Penegakan moral (hukum) untuk memberantas korupsi tanpa pandang nulu  yang mungkin akan menyeret para elit politik  bisa berdampak kepada ketidakstabilan politik. Atau membiarkan kasus kasus korupsi yang melibatkan para elit tidak tersentuk oleh hukum demi menjaga stabilitas politik.  

Apapun hasilnya Pemerintah harus memilih salah satu. Tindakan yang harus dipilih adalah membangun moral melalui menegakan hukum tanpa pandang bulu. Ini tentu membutuhkan keberanian karena memiliki resiko terjadinya ketidakstabilan politik. Namun pilihan itu jauh lebih baik untuk masa depan bangsa, sebagaimana yang digagas oleh para pendiri negara, bahwa moral dan karakter menjadi modal bagi kemajuan bangsa dan negara.  Selain itu dengan melakukan penegakan hukum terhadap para koruptor bisa menjadi pembelajaran bagi semua, bahwa moralitas harus menjadi landasan hidup, termasuk dalam berbangsa dan bernegara. ***

Prof Dr Warsono MS, Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Mantan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

FA Syam
Editor :FA Syam